Aviation Aeronautical College

The Sky Is Large, But no Room For error

_Sekolah Tinggi Penerbangan Aviasi_

Selasa, 05 November 2013

Tekanan Di kabin Itu Penting!!!

TEKANAN DI KABIN PESAWAT

24 Pebruari 2006


Untuk menghemat bahan bakar, pesawat harus terbang di ketinggian 9 kilometer dari permukaan laut. Udara di dalam kabin pun perlu didaur ulang.
Baru saja kita dikejutkan dengan penerbangan Adam Air ke Makassar yang berakhir mendarat darurat di Sumba. Memang walaupun pesawat disebutkan sebagai moda transportasi yang lebih aman dari moda transportasi yang lain, kita sering was-was kalau mau menggunakannya.
Misalnya, akhir tahun 2005, saya benar-benar was-was karena harus banyak menghabiskan waktu di atas pesawat ke beberapa negara. Lebih was-was karena ada berita kecelakaan pesawat Helios Airways di Yunani yang menewaskan 121 penumpangnya. Kecelakaan di bulan Agustus 2005 itu akibat drop tekanan udara di pesawat yang menyebabkan semua penumpangnya kedinginan dan kehabisan oksigen. Jadilah saya harus cari-cari informasi perihal mengapa dan bagaimana sistem tekanan udara di pesawat dijaga.
Pesawat yang bertekanan
Sebelum tahun 1940-an pesawat tidak kedap udara, udara mengalir dari dan ke pesawat. Akibatnya, tekanan dalam pesawat sama dengan tekanan di luar. Sejak tahun 1940, dikenal pesawat yang bertekanan. Kenapa pesawat harus bertekanan? Alasannya karena pesawat harus menjelajahi atmosfer pada ketinggian yang lebih tinggi, yang suhu dan tekanan udaranya sangat rendah.
Apa sih keuntungannya terbang pada ketinggian jelajah lebih tinggi?
Pesawat yang terbang di ketinggian 9 kilometer di atas permukaan laut akan menghemat ongkos bahan bakar sebesar 38 persen dibandingkan dengan terbang di ketinggian dekat permukaan laut. Kita tentu ingat, semakin ke atas atmosfer semakin tipis sehingga gesekan dengan udara semakin kecil. Oh ya, di ketinggian sekitar 9 kilometer di atas permukaan laut suhu udara di luar sekitar 40 Celsius.
Bagaimana tekanan dalam pesawat diberikan?
Awalnya, dalam mesin pesawat udara luar diisap. Udara itu kemudian dipanaskan hingga 250 Celsius dan ditekan hingga 30 atm (tiga puluh kali tekanan udara di atas permukaan laut). Kondisi suhu dan tekanan tinggi ini untuk membunuh semua kuman yang mungkin ada.
Udara yang steril, panas, dan berteklinan tinggi ini dikembalikan ke tekanan rendah dan diturunkan suhunya menjadi suhu sekitar suhu kamar dan kemudian dialirkan ke kabin. Tekanan dalam kabin diatur oleh pilot dengan cara pada suatu saat tertentu udara dalam kabin dibocorkan ke luar pesawat. Memang untuk memberi tekanan dalam kabin ini pesawat memerlukan energi dari bahan bakar. Namun, menurut informasi, energi yang diperlukan sekitar 2 persen saja dibandingkan dengan keseluruhan energi untuk menjalankan pesawat. Jelas jauh diimbangi oleh penghematan yang 38 persen di atas.
Walaupun sudah bertekanan, dalam pesawat tekanan udaranya hanya sekitar 70-80 persen tekanan atmosfer. Akibatnya, kita bernapas dalam volume udara yang lebih kecil. Menurut catatan, di pesawat, penumpang bernapas dalatn 1-2 m3 udara. Bandingkan dengan ketika di auditorium (4-10 m3), dan di kantor (10-30 m3).
Namanya saja mesin, mungkin saja ada gangguan yang membuat tekanan udara menjadi lebih rendah lagi dan kita harus menggunakan masker untuk bernapas. Nah, itulah gunanya peragaan yang dilakukan oleh pramugari sebelum lepas landas. Kabarnya dalam kecelakaan di atas, di ruang kemudi pilotnya sudah kekurangan oksigen lebih dulu sehingga tidak bisa mengontrol tekanan dalam kabin. Akibatnya, ya semua penumpang tewas.
Udaranya didaur ulang
Awal dikenalkan pesawat bertekanan, udara yang diisap kemudian dialirkan ke kabin segera dibuang (dibocorkan) keluar. Penumpang tentu mendapat udara yang selalu segar dan dampaknya mereka pun lebih segar ketika di pesawat maupun saat turun. Belakangan diketahui dengan cara ini pemakaian bahan bakar menjadi agak boros. Dari pengalaman ini, dikenalkan daur ulang udara untuk menghemat lebih lanjut ongkos terbang.
Memang tidak semua udara itu didaur ulang, pilot mengatur seberapa banyak didaur ulang dan yang diambil lagi dari luar. Ini kadang-kadang yang membuat kita keluar dari satu pesawat merasa lebih segardari saat keluar dari pesawat yang lain. Soalnya pilot yang berbeda memberikan perbandingan udara daur ulang dan baru yang berbeda.
Pendaurulangan udara itu tentu dengan cara menambahkan penyaring sehingga udara dari kabin bebas kuman sebelum digunakan lagi. Penyaring dapat dengan ketepatan tinggi memisahkan kuman, yang mungkin dibawa oleh seorang penumpang yang sedang sakit. Jadi, udara dari mesin yang dimasukkan ke kabin dari atas masuk kembali ke kabin setelah melewati filter yang biasanya ada di ruang bawah tempat duduk penumpang.
Gampang tertular penyakit?
Sering orang punya pendapat yang keliru bahwa di pesawat risiko ketularan penyakit sangat besar. Pendapat ini mungkin berasal dari anggapan dalam ruangan pesawat itu sirkulasi udaranya tunggal. Dengan satu sirkulasi tersebut, kalau ada penumpang yang sakit, kuman atau virusnya akan menyebar ke seluruh ruang pesawat. Benarkah?
Pendapat di atas tidak tepat. Sebab, di dalam pesawat, biasanya sistem ACnya dibagi menjadi daerah-daerah. Satu daerah berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar lima baris kursi. Udara cenderung berada dalam blok kecil ini, tidak bersirkulasi ke seluruh ruang pesawat. Jadi, risiko ketularan penyakit tetap ada, terutama bila tetangga duduk kita di sekitar lima baris kursi ada yang sakit dan kumannya mudah tersebar lewat udara. Namun tidak dari penumpang yang tempat duduknya berjauhan. Risiko ini sama saja dengan ketika kita di ruang kelas, di supermarket, atau di dalam angkutan kota.
Tentu saja kalau ada yang sakit kemudian batuk-batuk sambil jalan di sepanjang lorong pesawat dari depan ke belakang, kumannya menjadi tersebar di seluruh pesawat. Tapi, masak sih ada orang yang sejahat itu?
Semoga pengetahuan ini menambah wawasan sehingga kita tidak usah was-was naik pesawat. Juga kita menjadi lebih bertanggung jawab, jangan batuk-batuk sambil mondar-mandir di lorong pesawat.

Source :Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar